Rabu, 20 Mei 2009
KLONING DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Pengertian Kloning
Secara etimologis kloning berasal dari kata "clone" yang diturunkan dari bahasa Yunani "klon", artinya potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman. Sedangkan secara terminologis kloning adalah proses pembuatan sejumlah besar sel atau molekul yang seluruhnya identik dengan sel atau molekul asalnya. Kloning dalam bidang genetika merupakan replikasi segmen DNA tanpa melalui proses seksual.
Metode kloning berbeda dengan pembuahan biasa, karena sal telur tidak lagi memerlukan sel sperma untuk pembuahannya. Secara sederhana dapat disebutkan bahwa bayi "klon" dibuat dengan meinpersiapkan sel telur yang sudah diambil intinya kemudian digabungkan dengan sel donor yang merupakan sel dewasa dari suatu organ tubuh. Hasil gabungan tersebut kemudian ditanamkan ke dalam rahim dan dibiarkan berkembang dalam rahim sampai lahir.
B. Pandangan Islam Terhadap Kloning Manusia
Berkaitan dengan penciptaan manusia, AI-Qur'an menyatakan bahwa manusia diciptakan sabagai makhluk paling sempurna di antara seluruh makhluk yang ada di alam samesta. Hal ini ditegaskan dalam surat At-Tin [95]:4 yang berbunyi :
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . (QS. At- Thin [95] : 4)
Masih terkait dengan kesempurnaan manusia, para sosiolog menyatakan bahwa keistimewaan manusia terlihat dari kemampuannya untuk mengadakan hubungan interdependensi baik langsung maupun tidak langsung dengan orang atau pihak lain. Hal inilah yang menyebabkan manusia disebut makhluk. sosial. Sementara itu para ahli etika menilai bahwa manusia memiliki kelebihan dari makhluk lain bila dihubungkan dengan ciri khas manusia karena mampu mempertanggungjawabkan seluruh tindakannya kepada dirinya sendiri, kepada orang lain maupun kepada Tuhannya. Dengan kata lain, sikap dan tindakan manusia itu tidak berdiri di ruang kosong, melainkan harus mempertanggungjawabkan secara obyektif kepada pihak-pihak yang terkait.
Penjelasan Allah dalam AI-Qur'an tentang kesempurnaan penciptaan manusia tentu tidak dibantah lagi oleh orang-orang beriman. Dengan menggunakan logika secara sederhana dapat digeneralisasi bahwa sesuatu yang sempurna, kemudian disempurnakan tentu saja dapat menghilangkan sifat kesempurnaannya, bahkan bisa berakibat rusak sama sekali. Apalagi yang menyempurnakan adalah manusia yang terlahir dari hasil ciptaan sang Maha Pencipta. Telah dilakukan setidaknya dapat ditinjau dari aspek teologis, etis, maupun yuridis. Untuk itu, akan diuraikan pandangan Islam terhadap kloning manusia berdasarkan ketiga aspek tersebut.
C. Pandangan Teologi Terhadap Kloning Manusia
Aspek teologis terhadap kloning manusia langsung berdasarkan pemahaman dari penjelasan Al-Qur'an dan Hadits mengenai penciptaan manusia. Al-Qur'an membagi empat kategori :
1. Penciptaan manusia tanpa ayah dan ibu, yaitu Adam As.
2. Penciptaan manusia dari seorang ayah tanpa ibu yaitu Hawa.
3. Penciptan manusia dari seorang ibu tanpa ayah yaitu Isa Al-¬Masih.
4. Penciptaan manusia biasa melalui pasangan suami isteri yaitu manusia pada umumnya.
Kategori pertama sampai ketiga merupakan hak mutlak Allah SWT. Sehingga tidak dapat dipersoalkan secara teologis. Yang dapat dijadikan sebagai wacana teologis adalah kategori keempat. Allah menjelaskan bahan dasar pembuatan manusia dalam beberapa ayat berikut ini diantaranya adalah:
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى .مِنْ نُطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى
Artinya: “Dan bahwasannya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. Dari air mani, apabila dipancarkan (QS. Al-Najm [53] : 45 – 46).
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan [76] : 2)
Berdasarkan keterangan ayat-ayat diatas dapat dirumuskan beberapa fase penciptaan manusia secara umum. Fase-fase tersebut adalah :
1. Fase tanpa bentuk
2. Fase Nutfah
3. Fase Alaqah
4. Fase Mudgah
5. Fase munculnya tulang belulang.
6. Fase berbentuk (khalqah Akhir)
Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa penciptaan manusia melalui kloning bertentangan dengan penciptaan manusia menurut Al-Qur’an. Oleh karen aitu secara teologis kloning manusia otomatis bertentangan dengan akidah yang diyakini umat Islam.
Menurut teologi Islam dengan kloning manusia, tabiat dan kodrat manusia tersebut tidak berfungsi lagi karena manusia kloning telah direkayasa sedemikian rupa untuk hanya berbuat baik atau berbuat buruk saja sesuai dengan keinginan sang creator. Perbuatan untuk mengubah makhluk ciptaan Allah merupakan suatu perbuatan yang ditentang Allah.
D. Pandangan Etika Terhadap Kloning Manusia.
Dari sudut pandang etika Islam, terdapat pemahaman bahwa seutuhnya adalah manusia yang memiliki tiga unsur, yaitu jasad, nyawa, dan roh.
Menurut Ayman Nawash, kloning manusia dapat menimbulkan hilangnya keragaman manusia. Dengan teknologi kloning, imajinasi bukanlah imajinasi fikir karena salah satu tujuan kloning adalah membuat duplikat manusia yang sama persis dengan manusia pendonor gen. jika keragaman manusia telah hilang, maka secara etis orang lain dianggap sebagai cerminan dirinya sendiri. Bahkan tindakan orang lain dianggap sebagai tindakannya sendiri. Para ilmuwan etika lain muncul dari sudut pandang tujuan penerapan kloning pada manusia. Para ilmuwan biotek mengklaim bahwa tujuan kloning adalah untuk mendapatkan manusia yang berkualitas baik secara fisik maupun psikis. Tujuan ini tentu saja sama dengan tujuan program pemuliaan tanaman dan ternak dalam dunia peternakan dan agrabisnis. Status manusia kloning tidak jauh berbeda dengan status hewan dan tumbuhan hasil rekayasa gentika.
Secara filosofis, tujuan kloning semcam itu tidak dibenarkan. Perbedaan signifikan antara manusia dengan hewan dan tumbuhan justru terletak pada kesadaran eksistensi manusia. Kesadaran eksistensial manusia terhadap diri dan dunianya secara alami dapat membentuk kepribadian manusia.
E. Pandangan Hukum Islam Terhadap Kloning Manusia
Kloning merupakan peroalan kontemporer yang hukumannya ditemukan dalam Al-Qur’an, Hadits, dan ijtihad para ulama Mutaqaddim. Pendapat Yusuf Al-Qardawi, Fathurrahman Djamil menyetakan bahwa ijtihad dapat dilakukan dengan dua cara yaitu ijtihad intiqa’I (ijtihad tarjihi) dan ijtihad insya’I (ijtihad ibtida’i)
Para ulama kontemporer lebih tepat menggunakan ijtihad insya’I. Untuk menggunakan ijtihad ini, diperlukan pemahaman menyeluruh tentang kloning. Diperlukan dari ahli biologi dan kedokteran. Salah satu langkah penting yang harus dilakukan dalam melaksanakan ijtihad adalah penelusuran terhadap tujuan ditetapkannya hukum Islam untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari keburukan, baik di dunia maupun di akhirat. Ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Kedudukan kloning dalam pandangan Islam, dari sisi memelihara agama klooning manusia tidak membawa negatif terhadap keberadaan agama, dari sisi memelihara jiwa kloning tidak menghilangkan jiwa bahkan justru kloning melahirkan jiwa baru. Dari sisi akal kloning tidak mengancam eksistensi akal, bahkan keberhasilan kloning dapat membuat manusia mempunyai akal yang cerdas. Namun dari sisi keturunan kloning manusia dipertanyakan. Dalam pandangan Islam masalah ketirunan merupakan sesuatu yang sangat esensial, karena keturunan mempunyai hubungan erat dengan hukum lain, seperti pernikahan , warisan, muhrim dan sebagainya ditentukan berdasarkan garis keturunan. Dari sisi memelihara harta akan terkai dengan masalah maslahat dan mafsadat yang diperoleh dari usaha pengkloningan. Apabila kloning hanya menghambur-hamburkan harta tanpa adanya keseimbangan manfaat yang diperoleh maka kloning menjadi terlarang. Berdasarkan kesimpulan tersebut dapat disimpulkan bahwa mafsadat yang ditimbulkan praktik kloning manusia jauh lebih besar dibanding dengan maslahatnya. Oleh karena itu praktik kloning manusia bertentangan secara nyata dengan naluri hukum Islam yang mendahulukan kemaslahatan umat manusia.
Fatwa terakhir tentang mengkloning manusia dikeluarkan oleh Jawatan Kuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Malaysa melalui keputusan tanggal 11 maret 2002. majlis ini menetapkan bahwa:
1. Kloning manusia untuk tujuan apapun adalah haram, karena bertentangan dengan fitrah kejadian manusia sebagai mana yang telah ditentukan oleh Allah SWT.
2. Penggunaan sistem cell dengan tujuan medis dan penelitian diperbolehkan sejauh tidak bertentangan dengan hukum syara’.
TAFSIR TENTANG GENDER
A. PENDAHULUAN
Sebelum membahas makalh ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan siapa yang dimaksud dengan rijal dan nisa’ dalam frasa pertama dari Surah An-Nisaa’, : 34 ini. Sebagian orang memahami bahwa yang dimaksudkan dengan dua kata itu adalag arti harfiah atau umumnya, yakni kaum laki-laki dan kaum perempuan. Di samping menjangkau kehidupan rumah tangga, menurut mereka, aturan ayat itu juga menjangkau kehidupan sosial masyarakat. Tetapi asbabun nuzul dan pembicaraan dalam frasa-frasa berikutnya menunjukkan bahwa ayat tersebut jangkauannya hanyalah kehidupan rumah tangga, yakni hubungan suami-istri, bukan hubungan laki-laki dengan perempuan dalam masyarakat umum.
B. PEMBAHASAN
a. Al-Qur’an Surat An-Nisa (4) : 34
•
Kaum laki-lakii itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika sauminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyusnya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka jangan kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
1. Tafsir Mufradat
الرجال ) ) Ar-rijal jamak dari rajul yang berarti laki-laki dan dalam Al-quran banyak digunakan dengan pengertian suami-suami .
قوامون على (جمع مذكر من قوام :
Kata ini merupakan bentuk mubalaghag (untuk menyangatkan) dari qaim yang dibentuk dari qama-yaqumu-qiyam pada umumnya berarti berdiri. Ketika digabungkan dengan ‘ala, ia menjadi idiom dan bisa berarti memimpin. Dengan ini dikatakan ”haadzaa qayyimul mar-ati wa qawaamuhaa” (ini adalah pemimpin wanita) .
Wanita-wanita/istri-istri : النساء (جمع من المرأة)
Wanita yang shaleh ialah yang taat kepada Allah : فالصالحات قانتات
Memelihara apa yang tidak tampak : حافظات للغيب
oleh manusia
Hal yang dimaksudkan disini yaitu tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya ketika suaminya tidak ada .
Wanita-wanita yang kalian kira : التي تخافون
Nusyuz : نشوزهن
Nusyuz disini yakni نشزت الأرض – Nasyazati Al-Ardu : tanah lebih tinggi disbanding yang ada di sekitarnya. Maksud di sini adalah durhaka dan membesarkan diri terhadap suami .
2. Sebab Nuzul dan Munasabahnya
Asbabun Nuzulnya
As-Suyuti dalam Lababun Nuqul menyebutkan tiga riwayat asbabun nuzul bagi ayat ini yang satu dengan lainnya saling menguatkan
Pertama, seorang perempuan datang kepada Nabi mengadukan suaminya yang telah menamparnya. Maka, beliau memutuskan hukuman kisas. Lalu turun ayat ar-rijalu quwwamuna... dan perempuan itu pulang tanpa ada hukuman itu atas suaminya (HR At-Thabari dari hasan).
Kedua, seorang sahabat Anshar menampar istrinya yang kemudian menuntut kisas. Dan Nabi mengabulkan tuntutan itu. Lalu turun wa la taj’al bil Qurani dan ar-rijalu quwwamuna... (HR At-Thabari dari Hasan, Ibn Juraij dan As-Suddi).
Ketiga, seorang lelaki sahabat Anshar bersama istrinya datang kepada Nabi. Sang istri mengadu, ”Wahai Rasulullah, dia (suaminya) telah memukul saya, dan pukulannya itu meninggalkan bekas di wajah saya.” Rasulullah bersabda, ”Dia (Sang Suami) tidak boleh melakukan itu.” Lalu turunlah ar-rijalu quwwamuna... (HR Ibn Mardawaih dari Ali bin Abi Thalib).
Munasabahnya
Dalam dua ayat sebelumnya Allah melarang orang laki-laki dan perempuan dari menginginkan kelebihan yang telah diberikan kepada masing-masing. Hal ini menunjukkan agar dalam urusan rezeki mereka bersandar kepada usaha mereka; dan memerintahkan kepada mereka agar memberikan kepada ahli waris bagian yang menjadi haknya. Hal itu dijelaskan karena laki-laki diberi peran yang lebih besar dalam jihad (perjuangan) dan bagian yang lebih banyak dalam warisan. Kemudian dalam ayat ini, Allah menjelaskan mengapa laki-laki diberi bagian lebih seperti itu.
3. Penjelasan
Diantara tugas kaum lelaki adalah memimpin kaum wanita dengan melindungi dan memelihara mereka. Sebagai konsekuensi dari tugas ini, kaum lelaki diwajibkan berperang dan kaum wanita tidak, karena perang termasuk perkara perlindungan yang paling khusus, dan kaum lelaki memperoleh bagian lebih besar dalam hal harta pusaka dari pada kaum wanita, karena kaum lelaki berkewajiban memberi nafkah, sedangkan kaum wanita tidak.
Hal ini karena Allah melebihkan kaum lelaki atas kaum wanita dalam perkara kejadian, dan memberi mereka kekuatan yang tidak diberikan kepada kaum wanita. Di samping itu, Allah melebihkan mereka atas kaum wanita dengan kemampuan memberi nafkah dari harta mereka. Di dalam mahar terdapat suatu pengganti bagi kaum wanita untuk menerima kepemimpinan kaum lelaki atas mereka yang sebanding dengan penggantian material yang diambil oleh kaum lelaki, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
Artinya : Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya (Al-Baqarah : 228)
Didalam surat An-Nisa’ ayat 34 tidak langsung datang perintah mengatakan wahai laki-laki, wajiblah kamu jadi pemimpin. Atau wahai perempuan, kamu mesti menerima pimpinan. Yang diterangkan lebih dahulu ialah kenyataan. Tidakpun ada perintah, namun kenyataannya memang laki-lakilah yang memimpin perempuan. Sehingga kalau datanglah misalnya perintah, perempuan memimpin laki-laki, tidak bisa perintah itu berjalan, sebab tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia. Laki-laki memimpin perempuan bukan saja pada manusia bahkan pada binatang pun. Para rombongan itik, itik jantan juga yang memimpin berpuluh-puluh itik yang mengiringkannya. Kera dan beruk di hutanpun mengangkat pemimpin beruk tua jantan. Diterangkan sebab yang pertama di dalam ayat, ialah lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka, yaitu mereka laki-laki atas yang sebahagian, yaitu perempuan. Lebih dalam tenaga, lebih dalam kecerdasan. Sebab itu lebih pula dalam tanggung jawab.
Kemudian disajikan rincian tentang keadaan kaum wanita di dalam kehidupan rumah tangga, bahwa istri berada di bawah pimpinan suami. Disebutkan, bahwa kondisi itu terbagi dua. Kemudian diisyaratkan, bagaimana memperlakukan istri di dalam masing masing kondisi, Adapun cara yang lurus di dalam memperlakukan isteri,
Pertama : wanita-wanita shalihah yang taat kepada suami mereka dan menjaga hubungan-hubungan yang biasa, berlaku antar mereka diwaktu berdua-duaan, seperti rafas (hubungan badaniyah) dan urusan-urusan khusus yang berkenaan dengan suami istri. Mereka tidak mengizinkan seorang lelakipun untuk melihat-lihat kepadanya, meski ia kerabatnya, dan lebih-lebih hendaknya memelihara kehormatan dari jamahan tangan, pandangan mata, atau pendengaran telinga yang khianat.
Demikian pula kaum wanita, wajib memelihara harta kaum lelaki dan hal-hal yang berhubungan dengan itu dari kehilangan. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Baihaqi dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata :
خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِى إِذاَ نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَإِذاَ أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ ، وَإِذاَ غِبْتَ عَنْهَا حَفَظْتُكَ فِى مَالِكَ وَنَفْسِهَا . ، قرأ الأية :
”Sebaik-baik istri yang apabila engkau memandangnya, maka ia menyenangkanmu; apabila engkau menuruhnya, maka ia mentaatimu, dan apabila engkau tidak ada di sisinya, maka ia akan memeliharamu terhadap hartamu dan dirinya- lalu dibacakanlah ayat ini.”
Wanita-wanita yang kalian khawatirkan akan bersikap sombong dan tidak menjalankan hak-hak suami istri menurut cara yang kalian ridai, maka hendaknya kalian memperlakukan mereka dengan cara-cara sebagai berikut :
(1) Hendaknya kalian memberikan nasihat yang menurut pandangan kalian dapat menyentuh hati mereka. Sebab di antara kaum wanita ada yang cukup dengan diingatkan akan hukuman dan kemurkaan Allah.
(2) Memisahkan diri dari tempat tidur dengan sikap berpaling. Adat telah berlaku, bahwa berkumpul di pembaringan dapat menggerakkan perasaan-perasaan suami istri, sehingga jiwa masing-masing terasa tenang dan hilanglah berbagai goncangan jiwa yang terjadi sebelum itu.
Untuk introspeksi diri, perlakuan suami seperti ini akan menarik istri untuk bertanya tentang sebab-sebab suami meninggalkannya dari tempat tidur. Tetapi jika cara ini tidak berhasil pula, maka suami boleh menggunakan cara berikutnya.
(3) Suami boleh memukul, asalkan pukulan itu tidak menyakiti atau melukainya, sebagai suami tidak pantas menjadikan istrinya yang merupakan belahan jiwanya itu sebagai hamba yang dipukulnya dengan tangan atau cambuk, hal ini berkenaan hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zami’ah :
أَيَضْرِبُ أَحَدُكُمْ إِمْرَأَتَهُ كَمَا يَضْرِبُ العَبْدُ ثُمَّ يُضَاجِعُهَا فِى آخِرِ اليَوْمِ .
“Apakah salah seorang di antara kalian memukul isterinya seperti seorang hamba dipukul, kemudian ia menidurinya di waktu malam.”
Maksud hadits di atas, bahwa suami membutuhkan hubungan yang khusus dengan isterinya, dan itu merupakan tuntutan fitrah, yaitu hubungan sosial yang paling kuat antara dua jenis manusia. Jadi tidak pantaslah suami menjadikan isterinya yang merupakan belahan jiwanya itu sebagai hamba yang dipukulnya dengan tangan atau cambuk. Suami yang mulia tentu tidak akan mau melakukan hal seperti ini.
Kedua, Allah menganjurkan supaya menanamkan hubungan yang baik antara suami-isteri. Difirmankan-Nya :
(فَإِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً)
Apabila mereka mentaati kalian dengan salah satu di antara cara-cara mendidik ini, maka janganlah kalian berlaku aniaya, jangan pula melampaui batas. Mulailah dengan memberikan nasihat, jika tidak cukup, maka tinggalkanlah dari tempat tidur; dan jika tidak cukup, maka pukullah. Setelah dengan ketiga cara ini tidak berhasil, maka adakanlah tahkim. Jika hal-hal lahir telah cukup untuk menjadi bukti, maka janganlah mengungkit-ungkit rahasia.
Suami yang Menghinakan Isterinya akan Melahirkan Budak bagi Orang Lain, sehingga Allah mengancam orang yang berlaku zhalim dan aniaya terhadap kaum wanita. Sebagaimana firman-Nya di ujung ayat :
(إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِياًّ كَبِيْرًا)
Allah mengingatkan para hamba-Nya akan kekuasaan-Nya atas mereka, agar mereka takut kepada-Nya di dalam memperlakukan kaum wanita. Seakan-akan Dia berfirman kepada mereka, sesungguhnya kekuasaan-Nya atas kalian melebihi kekuasaan kalian atas isteri; maka jika kalian berbuat aniaya terhadap mereka, Dia akan menyiksa kalian; dan jika kalian memaafkan kesalahan-kesalahan mereka, niscaya Dia akan menghapuskan segala kesalahan kalian.
b. Al-Qur’an Surat An-Nahl (16) : 97
• •
Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S : An-Nahl : 97)
1. Tafsir Mufradat
ذَكَرٍ = Laki-laki
أُنْثَى = Perempuan
Kata ذَكَرٍ (dzakar) dan أُنْثَى (untsaa) menunjukan kepada mnusia dilihat dari konteks jenis kelamin yang bersifat universal baik dia laki-laki maupun dia perempuan semuanya sama di hadapan Allah dalam beramal. Sedangkan kata ( Ar-rijaal) dan (An-nisa’) menunjukkan sifat dan kedudukan terhadap laki-laki dan perempuan dalam. Kedua kata ini banyak diterapkan dalam persoalan rumah tangga atau persoalan keluarga .
2. Munasabahnya
Setelah ayat yang lalu menyampaikan ancaman bagi yang durhaka dan janji bagi orang yang taat kepada-Nya maka ayat ini menampilkan perinsip yang menjadi dasar pelaksanan janji dan ancaman itu. Perinsip tersebut berdasar pada keadilan tanpa membedakan seseorang dengan yang lain baik itu laki-laki maupun perempuan kecuali atas dasar pengabdiannya .
3. Penjelasan
Ayat ini merupakan janji dari Allah Ta’ala bagi orang yang mengerjakan amal shaleh, yaitu amal yang sejalan dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, baik dia laki-laki maupun perempuan, baik manusia maupun jin, sedang kalbunya merasa tenteram dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Janji itu ialah bahwa Allah akan memberinya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik daripada amalnya. Kehidupan yang baik mencakup seluruh jenis nikmat yang menggembirakan hati, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda :
(قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا ، وَقَنَعَهُ اللهُ بِمَا آتاَهُ) رواه أحمد
“Sungguh beruntunglah orang yang berserah diri, yang diberi rezeki dengan rasa cukup, dan yang merasa puas dengan apa yang telah diberikan Allah baginya” (HR. Ahmad)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim dari hadits Abdullah bin Yazid al-Muqri.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
إِنَّ اللهَ لاَ يَظْلِمُ المُؤْمِنَ حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا وَيُثَابُ عَلَيْهَا فِي الآخِرَةِ . وَأَمَّا الكاَفِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِهِ فِي الدُّنْيَا حَتىَّ إِذَا أَفْضَى إِلىَ الآخِرَةِ لَمْ تَكُنْ حَسَنَةٌ يُعْطَى بِهَا خَيْرًا . (رواه مسلم)
“Allah tidak menzalimi suatu kebaikan bagi seorang mukmin. Kebaikan itu diberikan kepadanya di dunia dan diberikan pula pahalanya di akhirat. Adapun orang kafir, maka dia diberi makan di dunia karena aneka kebaikannya, sehingga apabila dia tiba di akhirat, maka tiada satu kebaikan pun uang membuahkan pahala.” (HR. Muslim)
C. PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL
1. Kriteria istri yang ideal
Kriteria-kriteria itu adalah :
- Shalihah yang pengertiannya adalah kelakuannya tidak buruk dan tidak merusak (secara agama, moral dan hukum).
- Qanitah yang pengertiannya adalah taat (kepada norma-norma agama, moral dan hukum) yang disertai dengan ketundukan.
- Hafidhah li al-ghaib yang pengertiannya adalah bisa menjaga diri, amanah dan rahasia keluarga.
Berdasarkan kriteria ini, tidak masalah apakah istri bekerja di luar rumah (peran publik) atau tidak (peran domestik). Yang penting seorang istri itu, baik dia itu wanita karir atau bukan, harus bisa memenuhi tiga kriteria itu.
2. Tanggung Jawab Suami Terhadap Istri
3. Sebagai suami tidak boleh menghina istri.
4. Beramal shaleh dengan jalan sejajar al-quran dan sunnah, mendapat ketentraman di dunia dan pahala di akhirat, baik itu laki-laki maupun perempuan.
5. dalam melaksanakan amal shaleh laki-laki dan perempuan sama saja di hadapan Allah swt.
D. REFERENSI
Menteri Agama Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Dahlan, H.A.A, Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, Diponegoro; Bandung 2000
Hamka, Prof. Dr. Tafsir Al-Azhar Juz V, Pustaka Panjimas; Jakarta 1983
Mahfud, Moh. Spiritualitas Al-Qur’an dalam membangun Kearifan Umat, UII Press; Yogyakarta, 1997.
Ar-Rifa’i, Muhammad Naqib. Ringkasan Tafsir Ibn Katsir Jilid 2, Gema Insani Press; Jakarta 1999
Al-Maragi, Ahmad Musthafa. Tafsir Al-Maraghi Juz V; Toha Putra; Semarang 1993.
Shihab, M. Quraish. Tafsi Al-misbah Vol. 7 dan 13, Lentera Hati, Jakarta:2002
Sabtu, 16 Mei 2009
KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS
A. Pendahuluan
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-quran dan sebagai penjelas atau bayan terhadap ayat-ayat Al-quran yang sifatnya global. Hadis ini sangat penting karena kita tidak bisa memahami Al-quran tanpa ada penjelasan hadis yang sangat terinci contohnya salat, zakat, dll. Jadi, seseorang tidak layak bila mana dia ingkarus sunnah (tidak mengukiti ajaran Rasul).
B. Kedudukan Hadis
Untuk mengetahui kedudukan Rasulullah dan Sunnahnya dalam Islam, kita perlu melihat beberapa ayat Al-Qur’an lebih dahulu. Dalam Al-Qur’an dapat kita jumpai bahwa Rasulullah saw. mempunyai tugas dan peran sebagai berikut :
1. Rasulullah saw. Merupakan Teladan Baik yang Wajib Dicontoh oleh Setiap Muslim
artinya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab, 21)
2. Rasulullah saw. Wajib Ditaati
Allah berfirman :
artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya.” (al-Anfal, 20).
•
artinya :
“Barang siapa taat kepada Rasulullah maka berarti ia taat kepada Allah.” (al-Nisa, 80).
3. Rasulullah saw Mempunyai Wewenang Untuk Membuat Suatu Aturan
Ayat yang menjelaskan tentang wewenang dan kekuasaan Nabi untuk membuat suatu aturan hukum dapat kita lihat QS. Al-a’raf ayat 157-158. Hal ini merupakan anugerah Allah kepadanya.
Allah berfirman :
artinya :
“dan (Nabi) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (al-A’raf, 157)
Dalam ayat ini Allah melimpahkan wewenang untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu kepada Nabi. Karenanya tidak ada perbedaan antara hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh Allah dengan hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh Nabi. Keduanya wajib ditaati.
C. Fungsi Hadis
a. Sumber Ajaran Islam Yang Kedua
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sejak zaman Nabi, umat Islam meyakini bahwa hadis itu merupakan salah satu sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Dasar utama dari keyakinan itu adalah berbagai petunjuk Al-Qur’an, diantaranya ialah :
1. Al-Qur’an Surat al-Hasyr : 7
artinya :“dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka hendaklah kamu menerimanya; dan apa yang dilarang bagimu, maka hendaklah kamu meninggalkannya (apa yang dilarang itu).”
2. Al-Qur’an S. Ali ‘Imran : 32
•
artinya :
katakanlah : “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; apabila kamu berpaling, maka (ketahuilah bahwa) sesungguhnya Allah tidak menyukai menyukai orang-orang kafir.”
Menurut ulama, ayat yang dikutip pertama (al-Hasyr : 7) mengandung petunjuk yang bersifat umum, yakni bahwa semua perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang-orang yang beriman. Ayat yang dikutip kedua (Ali-Imran : 32) mengandung petunjuk bahwa bentuk ketaatan kepada Allah adalah dengan mematuhi petunjuk Al-Qur’an, sedang bentuk ketaatan kepada Rasulullah adalah dengan mengikuti sunna beliau .
3. Al-Qur’an S. An-Najm : 3-4
artinya :
“Dan (Muhammad) tidaklah berbicara berdasarkan kemauan hawa nafunya. Ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Ayat ini menunjukkan bahwa sumber syariat Islam baik Al-Qur’an maupun hadis merupakan satu kesatuan, yaitu wahyu dari Allah . Al-Qur’an sebagai pokok hukum merupakan dasar pertama dan Hadits sebagai dasar kedua, dengan kata lain ada rutbah atau urutan derajat, Al-Qur’an lebih tinggi rutbah derajatnya dan hadits .
b. Sebagai Penjelas Terhadap Al-Qur’an
Islam menjelaskan hadits adalah sumber yang kedua bagi hukum-hukum, menerangkan segala yang dikehendaki Al-Qur’an, sebagai penyarah, penafsir, pengqayid, pentakhsis dan yang pertanggungjawabkan kepada yang bukan zhahir-nya. Para ulama, baik ahl al- Ra’y maupun ahl al-Atsar sepakat menetapkan bahwa hadis bekedudukan dan berfungsi untuk menyarahkan dan menjelaskan ayat-ayat Al-quran yang bersifat global , hal ini merupakan tugas Rasulullah saw, beliau menjelaskan baik dengan lisan maupun perbuatan tugas ini berdasarkan perintah dari Allah swt. Tentu saja penjelasan terhadap isi Al-Qur’an itu bukanlah sekedar membaca Al-Qur’an. Didalam QS. An-Nahl : 44 yang berbunyi :
••
artinya :
“dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.” (al-Nahl, 44).
Setelah melihat konteks ayat ini, kita telah mengetahui bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan penjelasan praktis. dan itu sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. Karenanya Rasulullah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari tugas ini. Menolak penjelasan Rasulullah terhadap Al-Qur’an juga tidak mungkin, karena Al-Qur’an sendiri telah menegaskan demikian. Oleh karena itu, menolak penjelasan Rasulullah terhadap Al-Qur’an sama saja dengan artinya dengan menolak Al-Qur’an.
Contoh-contoh mengenai perincian Sunnah terhadap keglobalan Al-Qur’an hamper meliputi seluruh cakrawala tasyri’ Islam, dalam hal ibadah, muamalah, halal, dan haram. Dalam setiap persoalan tersebut, Nabi saw. telah sampai – menurut batas tertentu – kepada penjelasan yang rinci. Kadang-kadang dilakukan dengan cara kias (analogi). Kadang-kadang dengan membandingkan antara dua hal yang saling berlawanan.
Ketika Allah Ta’ala berfirman: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah, 275), Rasulullah memahami bahwa tambahan tanpa imbalan atau ganti merupakan rahasia dari diharamkannya riba. Lalu beliau mengiaskan dengan riba sebagai setiap bisnis yang mengandung tambahan tanpa imbalan . Beliau menetapkan: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, korma dengan korma, garam dengan garam, saling berpadanan, saling sama dan saling menerima. Barang siapa menambah atau meminta tambah, berarti ia telah melakukan praktik riba.” Selanjutnya Rasulullah saw. tidak menggolongkannya sebagai riba, bila yang dipertukarkan itu berlainan jenis. Sabda beliau: “Apabila macam-macam ini berbeda, maka juallah sesuka kalian asal saling diterimakan (tunai).”
Contoh-contoh tersebut menempatkan sunnah di antara dua posisi – adakalanya berdiri sendiri dalam tasyri’ tentang hal yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, dan adakalanya sebagai penjelas bagi keglobalan Al-Qur’an.
c. Macam-Macam Penjelas (bayan)
Fungsi hadits sebagai bayan atau penjelas pada Al-Qur’an secara terperinci yang diungkapkan para ulama ialah :
1. Menurut ulama Ahl al-Ra’y (Abu Hanifah).
a. Bayan Taqrir ; keterangan yang didatangkan hadits untuk memperkuat apa yang diterangkan Al-Qur’an.
b. Bayan Tafsir ; menerangkan apa yang susah dipahamai (tersembunyi pengertiannya) seperti ayat menjual yang musytarak fiih.
c. Bayan Tadbil ; mengganti sesuatu hukum atau menasakhkannya, tapi ini dibolehkan apabila hadits itu mutawatir.
2. Menurut Malik
a. Bayan Tafsir ; menetapkan dan mengkokohkan hukum-hukum Al-qur’an
b. Bayan Tawdhih (Tafsir) ; menerangkan maksud-maksud ayat.
c. Bayan Tafshil; menjelaskan kemajmukan Al-qur’an
d. Bayan Bashthi; memanjangkan keterangan yang diringkas oleh Al-qur’an
e. Bayan Tasyri ; mewujudkan sesuatu hukum yang tidak tersebut dalam Al-qur’an.
3. Menurut Syafi’i
a. Bayan Tafshil ; menjelaskan ayat-ayat yang menjamah, yang sangat ringkas petunjuknya.
b. Bayan Takhshish ; menentukan sesuatu dari umum ayat.
c. Bayan Ta’yin ; menentukan mana yang dimaksud dari dua, tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
d. Bunga Tasyri ; menetapkan secara tekstual.
e. Bayan Nasakh ; menentukan mana yang dinasakh dan mana yang mansukh. Pada ayat yang kelihatan berlawanan.
4. Menurut Ahmad ibnu Hambal.
a. Bayan Ta’kid; sama dengan Bayan Taqrir
b. Bayan Tafsir ;
c. Bayan Tasyri;
d. Bayan Takhshish dan Taqyid
C. Kesimpulan
Setelah kita membaca makalah ini, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan, yaitu;
1. Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua.
2. Merupakan penjelas terhadap ayat Al-qur’an yang bersifat ijma (global).
3. Al-qur’an dan Hadits adalah sama-sama wahyu dari Allah.
D. Reference
Departemen Agama, Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Al-jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Kairo; Dar al-Katib al-Arabi, 1967.
Ismail, H.M.Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta; Gema Insani Press, 1995.
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, Bandung; Amal Bakti Press, 1997.
Ash-Shiddiqy, TM.Hasbi, Pengantar dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta; Bulan Bintang, 1972.
Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu Hadits, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1997.
Yaqub, Ali Mustafa, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1994.
Selasa, 31 Maret 2009
IJMA' SEBAGAI SUMBER HUKUM YANG KE-3
A. Pendahuluan
Di tengah-tengah kita sering kita dengar istilah ijma’ yang tidak lazim di telingah kita yang merupakan suatu ketentuan hukum atau dasar hukum bagi umat Islam. Di dalam pembahasan ini, kami mencoba untuk membahas tentang Ijma yang kita kenal sebagai sumber hukum yang ke tiga itu, hal ini menyangkut pengertian, dasar hukum sebagai ijma’, dan macam-macamnya.
B. Pengertian ijma’
Ijma’ menurut bahasa yaitu berasal dari kata jama’a ( ) menjadi ijma’
( ) yang artinya kebulatan suara atau kesepakatan[1]. Sedangkan secara etimologi, ijma’ (إجماع) mengandung dua arti :[2]
1. Ijma’ dengan arti atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu, Ijma’ dalam artian pengambilan keputusan itu dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Yunus (10) : 71 :
… karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)…
Juga dapat dilihat dalam hadits Nabi yang bunyinya :
Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa semenjak malam
.
2. Ijma’ dengan arti “sepakat”. Ijma’ dalam arti ini dapat dilihat dalam al-Qur’an surat Yusuf (12) : 15 :
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dalam sumur.
Sedangkan ijmak dilihat dari segi istilah ushul ialah sepakat para mujtahid Muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syar’i pada suatu peristiwa[3]. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan kepada semua Mujtahid di waktu terjadinya. Para Mujtahid itu sepakat memutuskan/menentukan hukumnya. Kesepakatan mereka itu dinamakan ijmak. Ijmak mereka itu adalah suatu I’tibar terhadap suatu hukum. Menurut mereka hukum ini adalah adil terhadap suatu masalah. Definisi ini adanya yaitu setelah wafatnya Nabi SAW. Karena selagi Rasul masih hidup, maka dia sendiri yang menjadi sumber tasyri’. Tidak ada penggambaran perbedaan pendapat dalam syar’i, dan tidak ada kesepakatan.
Sesuai dengan kesepakatan para ulama ahli Ushul Fiqh, salah satu syarat dalam ijma’, adalah jika ada salah satu saja dari para mujtahid tersebut yang tidak sependapat dengan kesepakatan itu, maka kesepakatan itu tidak dapat dikatakan ijma’[4].
Hal ini terbukti dengan keputusan Umar dalam menentukan peperangan dan lainnya, ia tidak pernah memanggil selutuh para mujtahid saat itu untuk dimintai pendapatnya. Dan memang pada masa kekhalifahannya, untuk sampai kepad hal seperti itu (mengumpulkan seluruh mujtahid) sangatlah sulit.
Bukti ini juga ditambah dengan adanya kenyataan bahwa tidak pernahnya semua mujtahid dan ahli ra’yu yang berada di Madinah semuanya menyepakati.
C. Dalil Ijma sebagai sumber hukum
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Untuk menguatkan pendapatnya ini jumhur mengemukakan beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi[5]. Di antara dalil ayat al-Qur’an adalah :
1. Surat An-Nisa (4) : 115 :
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Dalam ayat ini, “jalan-jalan orang Mukmin” diartikan sebagai apa-apa yang telah disepakati untuk dilakukan orang Mukmin. Inilah yang disebut ijma’ kaum Mukminin. Orang yang tidak mengikuti jalan orang Mukmin mendapat ancaman neraka jahannam. Hal ini berarti larangan mengikuti jalan selain apa yang diikuti kaum Mukminin, dan ini berarti disuruh mengikuti ijma’.
2. Surat Al-Baqarah (2) : 143 :
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…
Ayat ini mensifati umat Islam dengan “wasath”, yang berarti “adil”. Ayat ini memandang umat Islam itu sebagai adil dan dijadikan hujjah yang mengikat terhadap manusia untuk menerima pendapat mereka sebagaimana ucapan Rasul menjadi hujjah terhadap kita untuk menerima semua ucapan yang ditujukan kepada kita. Ijma’ berkedudukan sebagai hujjah tidak lain artinya kecuali bahwa pendapat mereka itu menjadi hujjah terhadap yang lain.
3. Surat Ali Imran (3) : 110
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…
Alif lam bila ditempatkan pada jenis menunjukkan berlaku secara umum. Kebenaran berita ini menghendaki menyuruh mereka melakukan setiap yang ma’rud dan melarang mereka dari setiap perbuatan yang munkar. Hal ini berarti umat dapat menetapkan suruhan dan larangan.
4. Surat Ali Imran (3) : 103
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…
Dalam ayat ini Allah SWT melarang umat berpecah belah. Usaha menantang ijma’ berarti berpecah belah. Hal itu adalah terlarang. Tidak ada arti kedudukan ijma’ sebagai hujjah kecuali laranganuntuk menyalahinya.
5. Surat al-Nisa’ (4) : 59
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…
Perintah mentaati ulil amri sesudah mematuhi Allah dan Rasul berarti perintah untuk mematuhi ijma’, karena ulil amri itu berarti orang-orang yang mengurus kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama, dalam hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan ulama adalah bila mereka sepakat tentang suatu hukum. Inilah yang disebut ijma’.
Adapun dari dalil Sunnah, ada hadits Nabi yang terdapat dalam beberapa periwayatan yang berbeda rumusannya, namun sama maksudnya yaitu bahwa umat Nabi Muhammad SAW tidak akan sepakat dalam kesalahan. Di antara rumusan hadits tersebut adalah :
Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan.
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat Islam.
D. Macam-macam Ijma’
Ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijmak ini ada dua macam [6]:
Pertama, ijmak sharih (bersih atau murni). Yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa. Masing-masing bebas mengeluarkan pendapat. Jelas terlihat dalam fatwa dalam memutuskan suatu perkara baik melalui pendapat maupun perbuatan. Tiap-tiap mujtahid itu merupakan sumber hokum. Jelas terlihat pendapat mereka[7].
Kedua, ijmak sukuti, sebagian mujtahid itu terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara. Dan sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia menyetujui, atau berbeda pendapat terhadap yang dikemukakan itu dalam mengupas suatu masalah.
Yang pertama itu, yaitu ijmak sharih, adalah ijmak hakiki. Inilah hujah syari’ah dalam mazhab jumhur. Yang kedua, yaitu ijmak sukuti, yaitu ijmak i’tibari. Karena orang yang berdiam diri itu belum pasti menyetujui. Belum pasti dia membenarkan dan meyakini tentang kesepakatan tentang siding ijmak itu. Untuk dijadikan hujah maka dalam hal ini berbeda-beda pendapat Ulama. Jumhur berpendapat bahwa ini tidak boleh dijadikan hujah, karena tidak keluar dari pendapat beberapa orang mujtahid.
Sedangkan Ulama Hanafi berpendapat, boleh dijadikan hujah, bila mujtahid itu tetap berdiam diri, tidak berbicara dan tidak mengeluarkan pendapat. Berdiam diri di sini tidak dapat disamakan dengan berdiam diri karena takut, atau berolok-olok. Karena berdiam diri, tidak bersuara pada tempat berfatwa itu menyatakan sesuatu, atau membuat peraturan atau undang-undang. Di samping itu dia menafikan (meniadakan) terhadap apa yang menjadi halangan baginya mengemukakan pendapat sekalipun berbeda. Kalau memang ternyata berbeda maka di sini sikap berdiam diri itu akan dipertajam.
Yang menguatkan pendapat ini ialah jumhur. Sikap berdiam diri nagi mujtahid itu meliputi hal-hal dengan mendiamkan beberapa hal, di antaranya yang mengenai jiwa dan yang bukan. Tidak mungkin untuk mengisahka segala hal, karena itu dia berdiam diri saja terhadap yang disukai dan yang disetujuinya. Sikap berdiam diri, tidak mengeluarkan pendapat itu tidak boleh dinisbatkan kepadanya kata-kata menyetujui atau berbedah. Sering terdengar terjadinya ijma’ sukuthi ini.
Adapun ditinjau dari pihak ini maka ijma’ itu dibagi dua:
Pertama Qathi’ yaitu ijma’ sharih yang pengertiannya bahwa itu itu diqathi’kan olehnya. Tidak ada jalan bagi hukum terhadap suatu peristiwa, dengan adanya khilaf (perbedaan pendapat). Bukan lagi lapangan ijtihad mengenai suatu peristiwa setelah diadakan sidang ijma’ sharih terhadap hukum syar’i[8].
Kedua Dzanni, yang menunjukkan atas hukumnya, yaitu dengan pengertiannya bahwa hukumnya itu masi diragukan karena hanya sebagian mujtahid yang berpendapat pada masa itu[9].
E. Kesimpulan
Ijma’ merupakanlah satu sumber hukum dimana para mujtahid sepakat menentukan suatu hukum atas suatu masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Ijma’ ini merupakan sumber hokum yang ke tiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi pegangan bagi umat Islam dalam penentuan hukum.
F. Reference
Al-Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-munawwir arab-indonesia Surabaya: Pustaka Progressife. 1997
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid I Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Halimuddin, S.H. Ilmu Usul Fiqh Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2005
Irham, Masturi Lc. Metodologi Ijtihad Umar bin Al-Khatthab Jakarta: Khalifa Pustaka Al-kautsar. 2005
Amin, Samsul Munir. Kamus Ilmu Ushul Fiqh Jakarta: Amzah 2005
Muhammad Jawar Muhniyyih. Ilmu Ushul Fiqh Fii Tsaobih Al-hadid Baerut: Darul Ulum Lilmalabits.
Departemen Agama. Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya
[1] Ahmad Warson Al-munawwir, Kamus al-munawwir arab-indonesia Surabaya: 1997 Pustaka Progressife hal. 210
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. hal. 112
[3] Halimuddin, S.H. Ilmu Usul Fiqh Jakarta:2005 PT. Rineka Cipta hal. 49
[4] Masturi Irham, Lc. Metodologi Ijtihad Umar bin Al-Khatthab Jakarta: 2005 Khalifa Pustaka Al-kautsar hal. 466
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. hal. 118-120
[6] Halimuddin, S.H. Ilmu Usul Fiqh Jakarta:2005 PT. Rineka Cipta hal. 56
[7] Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh Jakarta:2005 Amzah hal. 107
[8] Muhammad Jawar Muhniyyih. Ilmu Ushul Fiqh Fii Tsaobih Al-hadid Baerut: Darul Ulum Lilmalabits hal. 227
[9] Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh Jakarta:2005 Amzah hal. 108
Sabtu, 07 Maret 2009
SEJARAH BAHASA INDONESIA
Disadur dari bukunya Suwardi Notosudirjo Etimologi pengetahuan bahasa Indonesia cetakan 3
Bahasa Indonesia asalnya dari bahasa Melayu Kuno. Menurut hasil penelitian sejarah, bahasa Indonesia asalnya dari bahasa Melayu Kuno yang berbentuk kesusastraan atau berbentuk tulisan. Salah satu contoh yang dapat kita jadikan bukti yaitu munculnya berbagai prasasti-prasasti yang bahasanya bahas Melayu Kuno dengan tulisan huruf Pallawa pada zaman kerajaan Sriwijaya [1].
Dibawah ini salah satu kutipan dari prasasti tersebut tetapi sudah ditranskripsikan dengan huruf Latin.
“nipahat diwelanya yang wala Crivijaya kaliwat menapik yang bhumi Java tida bhakti ka Crivijaya” (Dipahat di waktunya tentara Sriwijaya telah menyerang yang tanah Jawa tidak takluk ke Sriwijaya).
Dengan adanya kutipan ini menerangkan bahwa prasasti itu dipahat pada masa tentara Sriwijaya telah menyerang tanah Jawa Yang tidak takluk, jadi kita menarik kesimpulan bahwa asal mulanya bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Kuno[2].
Bahasa Melayu Kuno ini pada zaman Sriwijaya tersebar ke daerah-daerah kekuasaannya, seperti Minangkabau, pulau
Kemudian pada tahun 1641 M. Malaka direbut oleh Belanda yang berkuasa di nusantara, dalam perhubungannya dengan raja-raja dan rakyat nusantara, Belanda dengan resmi menggunakan bahasa Melayu. Namun dengan kesehariannya mereka menggunakan bahasa campuran yakni bahasa Melayu, daerah setempat dan bahasa asing yang sudah dikenalnya. Bahasa campuran ini disebut bahasa pasaran yang mungkin diasosiasikan dengan keadaan pasar.
Pada tahun 1908 M. tersebarnya surat-surat kabar swasta dan Balai Pustaka serta wartawan-wartawan bangsa
Ø Berbangsa satu yaitu bangsa
Ø Berbahasa satu yaitu bahasa
Ø Bertanah air satu yaitu tanah air
Peristiwa ini terkenal sebagai Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Disinilah secara rersmi bahasa Melayu ditahbiskan menjadi bahasa
Pada masa pendudukan Jepang, bahasa Indonesia yang belum dewasa ini serentak harus diaplikasikan di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, baik swasta maupun pemerintah diseluruh nusantara wajib menggunakan bahasa Indonesia dan belajar bahasa Jepang serta melarang belajar bahasa Belanda dan Inggris.
Pada zaman kemerdekaan, sesuai surat keputusan 19 Maret 1947 Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Mr. Soewandi menyederhanakan ejaan Ch. A. van Ophuysen yakni “OE” dijadikan “U” dua huruf diganti dengan satu huruf dengan alasan bahwa satu fonim digambar dengan satu huruf atau lambang. Namun penerapannya baru dimulai pada tahun 1948. sejak tanggal 17 Agustus 1972, Pemerintah mengeluarkan peraturan ejaan sebagai penyempurnaan terhadap ejaan Suwandi, ejaan ini disebut ejaan yang disempurnakan (EYD). Dalam ejaan ini yang penting adalah perubahan “TJ” menjadi “C” dan “DJ” menjadi “J” sebab kedua-duanya memenuhi perinsip fonologi[4]. Adapun perubahan-perubahan lainnya hanya merupakan akibat dari perubahan lambang tersebut.
Kongres Bahasa Indonesia ke-I tahun 1938 di Solo, bertujuan meletakkan dasar-dasar Bahasa Indonesia dan kongres ke-II di Medan 1947 bertujuan menyempurnakan tatabahasa dan ejaan Bahasa Indonesia. Kemudian kongres yang ke-III tanggal 28 Oktober sampai dengan 3 November 1978 di Jakarta bertujuan memantapkan kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan bahasa daerah dan bahasa asing, mengembangkan segala sektor masyarakat untuk meningkatkan Bahasa Indonesia, dan mencari jalan supaya generasi muda bergairah untuk mengaplikasikannya dengan baik serta meningkatkan mutu Bahasa Indonesia.
[1] Suwardi Notosudirjo, pengetahua bahasa Indonesia etimologi cet. 3,
[2] Op.cit
[3] Ibid hal. 15.
[4] Ibid hal. 16.