Selasa, 31 Maret 2009

IJMA' SEBAGAI SUMBER HUKUM YANG KE-3

A. Pendahuluan

Di tengah-tengah kita sering kita dengar istilah ijma’ yang tidak lazim di telingah kita yang merupakan suatu ketentuan hukum atau dasar hukum bagi umat Islam. Di dalam pembahasan ini, kami mencoba untuk membahas tentang Ijma yang kita kenal sebagai sumber hukum yang ke tiga itu, hal ini menyangkut pengertian, dasar hukum sebagai ijma’, dan macam-macamnya.

B. Pengertian ijma’

Ijma’ menurut bahasa yaitu berasal dari kata jama’a ( ) menjadi ijma’

( ) yang artinya kebulatan suara atau kesepakatan[1]. Sedangkan secara etimologi, ijma’ (إجماع) mengandung dua arti :[2]

1. Ijma’ dengan arti atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu, Ijma’ dalam artian pengambilan keputusan itu dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Yunus (10) : 71 :

… karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)…

Juga dapat dilihat dalam hadits Nabi yang bunyinya :

Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa semenjak malam

.

2. Ijma’ dengan arti “sepakat”. Ijma’ dalam arti ini dapat dilihat dalam al-Qur’an surat Yusuf (12) : 15 :

Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dalam sumur.

Sedangkan ijmak dilihat dari segi istilah ushul ialah sepakat para mujtahid Muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syar’i pada suatu peristiwa[3]. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan kepada semua Mujtahid di waktu terjadinya. Para Mujtahid itu sepakat memutuskan/menentukan hukumnya. Kesepakatan mereka itu dinamakan ijmak. Ijmak mereka itu adalah suatu I’tibar terhadap suatu hukum. Menurut mereka hukum ini adalah adil terhadap suatu masalah. Definisi ini adanya yaitu setelah wafatnya Nabi SAW. Karena selagi Rasul masih hidup, maka dia sendiri yang menjadi sumber tasyri’. Tidak ada penggambaran perbedaan pendapat dalam syar’i, dan tidak ada kesepakatan.

Sesuai dengan kesepakatan para ulama ahli Ushul Fiqh, salah satu syarat dalam ijma’, adalah jika ada salah satu saja dari para mujtahid tersebut yang tidak sependapat dengan kesepakatan itu, maka kesepakatan itu tidak dapat dikatakan ijma’[4].

Hal ini terbukti dengan keputusan Umar dalam menentukan peperangan dan lainnya, ia tidak pernah memanggil selutuh para mujtahid saat itu untuk dimintai pendapatnya. Dan memang pada masa kekhalifahannya, untuk sampai kepad hal seperti itu (mengumpulkan seluruh mujtahid) sangatlah sulit.

Bukti ini juga ditambah dengan adanya kenyataan bahwa tidak pernahnya semua mujtahid dan ahli ra’yu yang berada di Madinah semuanya menyepakati.

C. Dalil Ijma sebagai sumber hukum

Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Untuk menguatkan pendapatnya ini jumhur mengemukakan beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi[5]. Di antara dalil ayat al-Qur’an adalah :

1. Surat An-Nisa (4) : 115 :

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Dalam ayat ini, “jalan-jalan orang Mukmin” diartikan sebagai apa-apa yang telah disepakati untuk dilakukan orang Mukmin. Inilah yang disebut ijma’ kaum Mukminin. Orang yang tidak mengikuti jalan orang Mukmin mendapat ancaman neraka jahannam. Hal ini berarti larangan mengikuti jalan selain apa yang diikuti kaum Mukminin, dan ini berarti disuruh mengikuti ijma’.

2. Surat Al-Baqarah (2) : 143 :

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…

Ayat ini mensifati umat Islam dengan “wasath”, yang berarti “adil”. Ayat ini memandang umat Islam itu sebagai adil dan dijadikan hujjah yang mengikat terhadap manusia untuk menerima pendapat mereka sebagaimana ucapan Rasul menjadi hujjah terhadap kita untuk menerima semua ucapan yang ditujukan kepada kita. Ijma’ berkedudukan sebagai hujjah tidak lain artinya kecuali bahwa pendapat mereka itu menjadi hujjah terhadap yang lain.

3. Surat Ali Imran (3) : 110

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…

Alif lam bila ditempatkan pada jenis menunjukkan berlaku secara umum. Kebenaran berita ini menghendaki menyuruh mereka melakukan setiap yang ma’rud dan melarang mereka dari setiap perbuatan yang munkar. Hal ini berarti umat dapat menetapkan suruhan dan larangan.

4. Surat Ali Imran (3) : 103

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…

Dalam ayat ini Allah SWT melarang umat berpecah belah. Usaha menantang ijma’ berarti berpecah belah. Hal itu adalah terlarang. Tidak ada arti kedudukan ijma’ sebagai hujjah kecuali laranganuntuk menyalahinya.

5. Surat al-Nisa’ (4) : 59

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…

Perintah mentaati ulil amri sesudah mematuhi Allah dan Rasul berarti perintah untuk mematuhi ijma’, karena ulil amri itu berarti orang-orang yang mengurus kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama, dalam hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan ulama adalah bila mereka sepakat tentang suatu hukum. Inilah yang disebut ijma’.

Adapun dari dalil Sunnah, ada hadits Nabi yang terdapat dalam beberapa periwayatan yang berbeda rumusannya, namun sama maksudnya yaitu bahwa umat Nabi Muhammad SAW tidak akan sepakat dalam kesalahan. Di antara rumusan hadits tersebut adalah :

Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan.

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat Islam.

D. Macam-macam Ijma’

Ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijmak ini ada dua macam [6]:

Pertama, ijmak sharih (bersih atau murni). Yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa. Masing-masing bebas mengeluarkan pendapat. Jelas terlihat dalam fatwa dalam memutuskan suatu perkara baik melalui pendapat maupun perbuatan. Tiap-tiap mujtahid itu merupakan sumber hokum. Jelas terlihat pendapat mereka[7].

Kedua, ijmak sukuti, sebagian mujtahid itu terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara. Dan sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia menyetujui, atau berbeda pendapat terhadap yang dikemukakan itu dalam mengupas suatu masalah.

Yang pertama itu, yaitu ijmak sharih, adalah ijmak hakiki. Inilah hujah syari’ah dalam mazhab jumhur. Yang kedua, yaitu ijmak sukuti, yaitu ijmak i’tibari. Karena orang yang berdiam diri itu belum pasti menyetujui. Belum pasti dia membenarkan dan meyakini tentang kesepakatan tentang siding ijmak itu. Untuk dijadikan hujah maka dalam hal ini berbeda-beda pendapat Ulama. Jumhur berpendapat bahwa ini tidak boleh dijadikan hujah, karena tidak keluar dari pendapat beberapa orang mujtahid.

Sedangkan Ulama Hanafi berpendapat, boleh dijadikan hujah, bila mujtahid itu tetap berdiam diri, tidak berbicara dan tidak mengeluarkan pendapat. Berdiam diri di sini tidak dapat disamakan dengan berdiam diri karena takut, atau berolok-olok. Karena berdiam diri, tidak bersuara pada tempat berfatwa itu menyatakan sesuatu, atau membuat peraturan atau undang-undang. Di samping itu dia menafikan (meniadakan) terhadap apa yang menjadi halangan baginya mengemukakan pendapat sekalipun berbeda. Kalau memang ternyata berbeda maka di sini sikap berdiam diri itu akan dipertajam.

Yang menguatkan pendapat ini ialah jumhur. Sikap berdiam diri nagi mujtahid itu meliputi hal-hal dengan mendiamkan beberapa hal, di antaranya yang mengenai jiwa dan yang bukan. Tidak mungkin untuk mengisahka segala hal, karena itu dia berdiam diri saja terhadap yang disukai dan yang disetujuinya. Sikap berdiam diri, tidak mengeluarkan pendapat itu tidak boleh dinisbatkan kepadanya kata-kata menyetujui atau berbedah. Sering terdengar terjadinya ijma’ sukuthi ini.

Adapun ditinjau dari pihak ini maka ijma’ itu dibagi dua:

Pertama Qathi’ yaitu ijma’ sharih yang pengertiannya bahwa itu itu diqathi’kan olehnya. Tidak ada jalan bagi hukum terhadap suatu peristiwa, dengan adanya khilaf (perbedaan pendapat). Bukan lagi lapangan ijtihad mengenai suatu peristiwa setelah diadakan sidang ijma’ sharih terhadap hukum syar’i[8].

Kedua Dzanni, yang menunjukkan atas hukumnya, yaitu dengan pengertiannya bahwa hukumnya itu masi diragukan karena hanya sebagian mujtahid yang berpendapat pada masa itu[9].

E. Kesimpulan

Ijma’ merupakanlah satu sumber hukum dimana para mujtahid sepakat menentukan suatu hukum atas suatu masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Ijma’ ini merupakan sumber hokum yang ke tiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi pegangan bagi umat Islam dalam penentuan hukum.

F. Reference

Al-Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-munawwir arab-indonesia Surabaya: Pustaka Progressife. 1997

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid I Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Halimuddin, S.H. Ilmu Usul Fiqh Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2005

Irham, Masturi Lc. Metodologi Ijtihad Umar bin Al-Khatthab Jakarta: Khalifa Pustaka Al-kautsar. 2005

Amin, Samsul Munir. Kamus Ilmu Ushul Fiqh Jakarta: Amzah 2005

Muhammad Jawar Muhniyyih. Ilmu Ushul Fiqh Fii Tsaobih Al-hadid Baerut: Darul Ulum Lilmalabits.

Departemen Agama. Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya


[1] Ahmad Warson Al-munawwir, Kamus al-munawwir arab-indonesia Surabaya: 1997 Pustaka Progressife hal. 210

[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. hal. 112

[3] Halimuddin, S.H. Ilmu Usul Fiqh Jakarta:2005 PT. Rineka Cipta hal. 49

[4] Masturi Irham, Lc. Metodologi Ijtihad Umar bin Al-Khatthab Jakarta: 2005 Khalifa Pustaka Al-kautsar hal. 466

[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. hal. 118-120

[6] Halimuddin, S.H. Ilmu Usul Fiqh Jakarta:2005 PT. Rineka Cipta hal. 56

[7] Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh Jakarta:2005 Amzah hal. 107

[8] Muhammad Jawar Muhniyyih. Ilmu Ushul Fiqh Fii Tsaobih Al-hadid Baerut: Darul Ulum Lilmalabits hal. 227

[9] Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh Jakarta:2005 Amzah hal. 108

Sabtu, 07 Maret 2009

SEJARAH BAHASA INDONESIA

Disadur dari bukunya Suwardi Notosudirjo Etimologi pengetahuan bahasa Indonesia cetakan 3


Bahasa Indonesia asalnya dari bahasa Melayu Kuno. Menurut hasil penelitian sejarah, bahasa Indonesia asalnya dari bahasa Melayu Kuno yang berbentuk kesusastraan atau berbentuk tulisan. Salah satu contoh yang dapat kita jadikan bukti yaitu munculnya berbagai prasasti-prasasti yang bahasanya bahas Melayu Kuno dengan tulisan huruf Pallawa pada zaman kerajaan Sriwijaya [1].

Dibawah ini salah satu kutipan dari prasasti tersebut tetapi sudah ditranskripsikan dengan huruf Latin.

“nipahat diwelanya yang wala Crivijaya kaliwat menapik yang bhumi Java tida bhakti ka Crivijaya” (Dipahat di waktunya tentara Sriwijaya telah menyerang yang tanah Jawa tidak takluk ke Sriwijaya).

Dengan adanya kutipan ini menerangkan bahwa prasasti itu dipahat pada masa tentara Sriwijaya telah menyerang tanah Jawa Yang tidak takluk, jadi kita menarik kesimpulan bahwa asal mulanya bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Kuno[2].

Bahasa Melayu Kuno ini pada zaman Sriwijaya tersebar ke daerah-daerah kekuasaannya, seperti Minangkabau, pulau Bangka dan Melaka. Hal ini disebabkan karena adanya serangan dari kerajaan-kerajaan luar yang membuat juga kerajaan sriwijaya lemah dan akhirnya runtuh. Malaka pada waktu itu dikuasai oleh Siam (Muang Thai) yang memerdekakan diri pada tahun 1400 M. rajanya berasal dari keturunan Paramesyawara yaitu Mahmud Syah. Pada zaman ini kesusastraan Melayu bukan Melayu Kuno lagi. Setelah Mahmud Syah wafat maka digantikan oleh puteranya yaitu Riayat Syah II yang mendirikan lagi negeri baru di Johor dan merintis kembali kesusastraan Melayu yang bahasanya Melayu Johor.

Kemudian pada tahun 1641 M. Malaka direbut oleh Belanda yang berkuasa di nusantara, dalam perhubungannya dengan raja-raja dan rakyat nusantara, Belanda dengan resmi menggunakan bahasa Melayu. Namun dengan kesehariannya mereka menggunakan bahasa campuran yakni bahasa Melayu, daerah setempat dan bahasa asing yang sudah dikenalnya. Bahasa campuran ini disebut bahasa pasaran yang mungkin diasosiasikan dengan keadaan pasar.

Pada tahun 1908 M. tersebarnya surat-surat kabar swasta dan Balai Pustaka serta wartawan-wartawan bangsa Indonesia yang membantu memperluas dan meningkatkan bahasa Melayu. Hal ini tidak dapat dipisahkan dengan timbulnya pejuang nasional yang dirintis oleh Budi Utomo. Kemudian disusul oleh pergerakan-pergerakan pemuda dari berbagai daerah yang tergabung dalam Indonesia Muda. Dalam kongres pemuda yang ke-II di Jakarta pada tahun 1928 diputuskan bahwa putera-puteri Indonesia

Ø Berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia

Ø Berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia

Ø Bertanah air satu yaitu tanah air Indonesia

Peristiwa ini terkenal sebagai Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Disinilah secara rersmi bahasa Melayu ditahbiskan menjadi bahasa Indonesia. Kata Dr. A. Teeuw, saat itulah hari “baptisnya” bahasa Indonesia[3]. Setelah perintisan bahasa Indonesia timbullah problem karena hanya pengakuan sepihak saja yakni pihak bangsa Indonesia. Sedangkan pemerintah Belanda masi menyebutnya bahasa Melayu. Lagi pula bahasa Indonesia ini belum tersebar kemana-mana dalam arti belum diaplikasikan oleh kaum terpelajar.

Pada masa pendudukan Jepang, bahasa Indonesia yang belum dewasa ini serentak harus diaplikasikan di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, baik swasta maupun pemerintah diseluruh nusantara wajib menggunakan bahasa Indonesia dan belajar bahasa Jepang serta melarang belajar bahasa Belanda dan Inggris.

Pada zaman kemerdekaan, sesuai surat keputusan 19 Maret 1947 Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Mr. Soewandi menyederhanakan ejaan Ch. A. van Ophuysen yakni “OE” dijadikan “U” dua huruf diganti dengan satu huruf dengan alasan bahwa satu fonim digambar dengan satu huruf atau lambang. Namun penerapannya baru dimulai pada tahun 1948. sejak tanggal 17 Agustus 1972, Pemerintah mengeluarkan peraturan ejaan sebagai penyempurnaan terhadap ejaan Suwandi, ejaan ini disebut ejaan yang disempurnakan (EYD). Dalam ejaan ini yang penting adalah perubahan “TJ” menjadi “C” dan “DJ” menjadi “J” sebab kedua-duanya memenuhi perinsip fonologi[4]. Adapun perubahan-perubahan lainnya hanya merupakan akibat dari perubahan lambang tersebut.

Kongres Bahasa Indonesia ke-I tahun 1938 di Solo, bertujuan meletakkan dasar-dasar Bahasa Indonesia dan kongres ke-II di Medan 1947 bertujuan menyempurnakan tatabahasa dan ejaan Bahasa Indonesia. Kemudian kongres yang ke-III tanggal 28 Oktober sampai dengan 3 November 1978 di Jakarta bertujuan memantapkan kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan bahasa daerah dan bahasa asing, mengembangkan segala sektor masyarakat untuk meningkatkan Bahasa Indonesia, dan mencari jalan supaya generasi muda bergairah untuk mengaplikasikannya dengan baik serta meningkatkan mutu Bahasa Indonesia.



[1] Suwardi Notosudirjo, pengetahua bahasa Indonesia etimologi cet. 3, Jakarta: Mutiara 1981 hal. 13

[2] Op.cit

[3] Ibid hal. 15.

[4] Ibid hal. 16.