Rabu, 20 Mei 2009

TAFSIR TENTANG GENDER

GENDER

A. PENDAHULUAN
Sebelum membahas makalh ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan siapa yang dimaksud dengan rijal dan nisa’ dalam frasa pertama dari Surah An-Nisaa’, : 34 ini. Sebagian orang memahami bahwa yang dimaksudkan dengan dua kata itu adalag arti harfiah atau umumnya, yakni kaum laki-laki dan kaum perempuan. Di samping menjangkau kehidupan rumah tangga, menurut mereka, aturan ayat itu juga menjangkau kehidupan sosial masyarakat. Tetapi asbabun nuzul dan pembicaraan dalam frasa-frasa berikutnya menunjukkan bahwa ayat tersebut jangkauannya hanyalah kehidupan rumah tangga, yakni hubungan suami-istri, bukan hubungan laki-laki dengan perempuan dalam masyarakat umum.

B. PEMBAHASAN
a. Al-Qur’an Surat An-Nisa (4) : 34
                                       •     

Kaum laki-lakii itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika sauminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyusnya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka jangan kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.



1. Tafsir Mufradat
الرجال ) ) Ar-rijal jamak dari rajul yang berarti laki-laki dan dalam Al-quran banyak digunakan dengan pengertian suami-suami .
قوامون على (جمع مذكر من قوام :
Kata ini merupakan bentuk mubalaghag (untuk menyangatkan) dari qaim yang dibentuk dari qama-yaqumu-qiyam pada umumnya berarti berdiri. Ketika digabungkan dengan ‘ala, ia menjadi idiom dan bisa berarti memimpin. Dengan ini dikatakan ”haadzaa qayyimul mar-ati wa qawaamuhaa” (ini adalah pemimpin wanita) .

Wanita-wanita/istri-istri : النساء (جمع من المرأة)
Wanita yang shaleh ialah yang taat kepada Allah : فالصالحات قانتات
Memelihara apa yang tidak tampak : حافظات للغيب
oleh manusia
Hal yang dimaksudkan disini yaitu tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya ketika suaminya tidak ada .

Wanita-wanita yang kalian kira : التي تخافون
Nusyuz : نشوزهن
Nusyuz disini yakni نشزت الأرض – Nasyazati Al-Ardu : tanah lebih tinggi disbanding yang ada di sekitarnya. Maksud di sini adalah durhaka dan membesarkan diri terhadap suami .


2. Sebab Nuzul dan Munasabahnya
Asbabun Nuzulnya
As-Suyuti dalam Lababun Nuqul menyebutkan tiga riwayat asbabun nuzul bagi ayat ini yang satu dengan lainnya saling menguatkan
Pertama, seorang perempuan datang kepada Nabi mengadukan suaminya yang telah menamparnya. Maka, beliau memutuskan hukuman kisas. Lalu turun ayat ar-rijalu quwwamuna... dan perempuan itu pulang tanpa ada hukuman itu atas suaminya (HR At-Thabari dari hasan).
Kedua, seorang sahabat Anshar menampar istrinya yang kemudian menuntut kisas. Dan Nabi mengabulkan tuntutan itu. Lalu turun wa la taj’al bil Qurani dan ar-rijalu quwwamuna... (HR At-Thabari dari Hasan, Ibn Juraij dan As-Suddi).
Ketiga, seorang lelaki sahabat Anshar bersama istrinya datang kepada Nabi. Sang istri mengadu, ”Wahai Rasulullah, dia (suaminya) telah memukul saya, dan pukulannya itu meninggalkan bekas di wajah saya.” Rasulullah bersabda, ”Dia (Sang Suami) tidak boleh melakukan itu.” Lalu turunlah ar-rijalu quwwamuna... (HR Ibn Mardawaih dari Ali bin Abi Thalib).

Munasabahnya
Dalam dua ayat sebelumnya Allah melarang orang laki-laki dan perempuan dari menginginkan kelebihan yang telah diberikan kepada masing-masing. Hal ini menunjukkan agar dalam urusan rezeki mereka bersandar kepada usaha mereka; dan memerintahkan kepada mereka agar memberikan kepada ahli waris bagian yang menjadi haknya. Hal itu dijelaskan karena laki-laki diberi peran yang lebih besar dalam jihad (perjuangan) dan bagian yang lebih banyak dalam warisan. Kemudian dalam ayat ini, Allah menjelaskan mengapa laki-laki diberi bagian lebih seperti itu.

3. Penjelasan
Diantara tugas kaum lelaki adalah memimpin kaum wanita dengan melindungi dan memelihara mereka. Sebagai konsekuensi dari tugas ini, kaum lelaki diwajibkan berperang dan kaum wanita tidak, karena perang termasuk perkara perlindungan yang paling khusus, dan kaum lelaki memperoleh bagian lebih besar dalam hal harta pusaka dari pada kaum wanita, karena kaum lelaki berkewajiban memberi nafkah, sedangkan kaum wanita tidak.
Hal ini karena Allah melebihkan kaum lelaki atas kaum wanita dalam perkara kejadian, dan memberi mereka kekuatan yang tidak diberikan kepada kaum wanita. Di samping itu, Allah melebihkan mereka atas kaum wanita dengan kemampuan memberi nafkah dari harta mereka. Di dalam mahar terdapat suatu pengganti bagi kaum wanita untuk menerima kepemimpinan kaum lelaki atas mereka yang sebanding dengan penggantian material yang diambil oleh kaum lelaki, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
          
Artinya : Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya (Al-Baqarah : 228)

Didalam surat An-Nisa’ ayat 34 tidak langsung datang perintah mengatakan wahai laki-laki, wajiblah kamu jadi pemimpin. Atau wahai perempuan, kamu mesti menerima pimpinan. Yang diterangkan lebih dahulu ialah kenyataan. Tidakpun ada perintah, namun kenyataannya memang laki-lakilah yang memimpin perempuan. Sehingga kalau datanglah misalnya perintah, perempuan memimpin laki-laki, tidak bisa perintah itu berjalan, sebab tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia. Laki-laki memimpin perempuan bukan saja pada manusia bahkan pada binatang pun. Para rombongan itik, itik jantan juga yang memimpin berpuluh-puluh itik yang mengiringkannya. Kera dan beruk di hutanpun mengangkat pemimpin beruk tua jantan. Diterangkan sebab yang pertama di dalam ayat, ialah lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka, yaitu mereka laki-laki atas yang sebahagian, yaitu perempuan. Lebih dalam tenaga, lebih dalam kecerdasan. Sebab itu lebih pula dalam tanggung jawab.
Kemudian disajikan rincian tentang keadaan kaum wanita di dalam kehidupan rumah tangga, bahwa istri berada di bawah pimpinan suami. Disebutkan, bahwa kondisi itu terbagi dua. Kemudian diisyaratkan, bagaimana memperlakukan istri di dalam masing masing kondisi, Adapun cara yang lurus di dalam memperlakukan isteri,


       
Pertama : wanita-wanita shalihah yang taat kepada suami mereka dan menjaga hubungan-hubungan yang biasa, berlaku antar mereka diwaktu berdua-duaan, seperti rafas (hubungan badaniyah) dan urusan-urusan khusus yang berkenaan dengan suami istri. Mereka tidak mengizinkan seorang lelakipun untuk melihat-lihat kepadanya, meski ia kerabatnya, dan lebih-lebih hendaknya memelihara kehormatan dari jamahan tangan, pandangan mata, atau pendengaran telinga yang khianat.
Demikian pula kaum wanita, wajib memelihara harta kaum lelaki dan hal-hal yang berhubungan dengan itu dari kehilangan. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Baihaqi dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata :

خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِى إِذاَ نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَإِذاَ أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ ، وَإِذاَ غِبْتَ عَنْهَا حَفَظْتُكَ فِى مَالِكَ وَنَفْسِهَا . ، قرأ الأية :

”Sebaik-baik istri yang apabila engkau memandangnya, maka ia menyenangkanmu; apabila engkau menuruhnya, maka ia mentaatimu, dan apabila engkau tidak ada di sisinya, maka ia akan memeliharamu terhadap hartamu dan dirinya- lalu dibacakanlah ayat ini.”

        
Wanita-wanita yang kalian khawatirkan akan bersikap sombong dan tidak menjalankan hak-hak suami istri menurut cara yang kalian ridai, maka hendaknya kalian memperlakukan mereka dengan cara-cara sebagai berikut :
(1) Hendaknya kalian memberikan nasihat yang menurut pandangan kalian dapat menyentuh hati mereka. Sebab di antara kaum wanita ada yang cukup dengan diingatkan akan hukuman dan kemurkaan Allah.
(2) Memisahkan diri dari tempat tidur dengan sikap berpaling. Adat telah berlaku, bahwa berkumpul di pembaringan dapat menggerakkan perasaan-perasaan suami istri, sehingga jiwa masing-masing terasa tenang dan hilanglah berbagai goncangan jiwa yang terjadi sebelum itu.
Untuk introspeksi diri, perlakuan suami seperti ini akan menarik istri untuk bertanya tentang sebab-sebab suami meninggalkannya dari tempat tidur. Tetapi jika cara ini tidak berhasil pula, maka suami boleh menggunakan cara berikutnya.
(3) Suami boleh memukul, asalkan pukulan itu tidak menyakiti atau melukainya, sebagai suami tidak pantas menjadikan istrinya yang merupakan belahan jiwanya itu sebagai hamba yang dipukulnya dengan tangan atau cambuk, hal ini berkenaan hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zami’ah :
أَيَضْرِبُ أَحَدُكُمْ إِمْرَأَتَهُ كَمَا يَضْرِبُ العَبْدُ ثُمَّ يُضَاجِعُهَا فِى آخِرِ اليَوْمِ .
“Apakah salah seorang di antara kalian memukul isterinya seperti seorang hamba dipukul, kemudian ia menidurinya di waktu malam.”


Maksud hadits di atas, bahwa suami membutuhkan hubungan yang khusus dengan isterinya, dan itu merupakan tuntutan fitrah, yaitu hubungan sosial yang paling kuat antara dua jenis manusia. Jadi tidak pantaslah suami menjadikan isterinya yang merupakan belahan jiwanya itu sebagai hamba yang dipukulnya dengan tangan atau cambuk. Suami yang mulia tentu tidak akan mau melakukan hal seperti ini.
Kedua, Allah menganjurkan supaya menanamkan hubungan yang baik antara suami-isteri. Difirmankan-Nya :
(فَإِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً)
Apabila mereka mentaati kalian dengan salah satu di antara cara-cara mendidik ini, maka janganlah kalian berlaku aniaya, jangan pula melampaui batas. Mulailah dengan memberikan nasihat, jika tidak cukup, maka tinggalkanlah dari tempat tidur; dan jika tidak cukup, maka pukullah. Setelah dengan ketiga cara ini tidak berhasil, maka adakanlah tahkim. Jika hal-hal lahir telah cukup untuk menjadi bukti, maka janganlah mengungkit-ungkit rahasia.
Suami yang Menghinakan Isterinya akan Melahirkan Budak bagi Orang Lain, sehingga Allah mengancam orang yang berlaku zhalim dan aniaya terhadap kaum wanita. Sebagaimana firman-Nya di ujung ayat :
(إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِياًّ كَبِيْرًا)
Allah mengingatkan para hamba-Nya akan kekuasaan-Nya atas mereka, agar mereka takut kepada-Nya di dalam memperlakukan kaum wanita. Seakan-akan Dia berfirman kepada mereka, sesungguhnya kekuasaan-Nya atas kalian melebihi kekuasaan kalian atas isteri; maka jika kalian berbuat aniaya terhadap mereka, Dia akan menyiksa kalian; dan jika kalian memaafkan kesalahan-kesalahan mereka, niscaya Dia akan menghapuskan segala kesalahan kalian.

b. Al-Qur’an Surat An-Nahl (16) : 97
         •    •      

Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S : An-Nahl : 97)

1. Tafsir Mufradat
ذَكَرٍ = Laki-laki
أُنْثَى = Perempuan
Kata ذَكَرٍ (dzakar) dan أُنْثَى (untsaa) menunjukan kepada mnusia dilihat dari konteks jenis kelamin yang bersifat universal baik dia laki-laki maupun dia perempuan semuanya sama di hadapan Allah dalam beramal. Sedangkan kata  ( Ar-rijaal) dan  (An-nisa’) menunjukkan sifat dan kedudukan terhadap laki-laki dan perempuan dalam. Kedua kata ini banyak diterapkan dalam persoalan rumah tangga atau persoalan keluarga .



2. Munasabahnya
Setelah ayat yang lalu menyampaikan ancaman bagi yang durhaka dan janji bagi orang yang taat kepada-Nya maka ayat ini menampilkan perinsip yang menjadi dasar pelaksanan janji dan ancaman itu. Perinsip tersebut berdasar pada keadilan tanpa membedakan seseorang dengan yang lain baik itu laki-laki maupun perempuan kecuali atas dasar pengabdiannya .
3. Penjelasan
Ayat ini merupakan janji dari Allah Ta’ala bagi orang yang mengerjakan amal shaleh, yaitu amal yang sejalan dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, baik dia laki-laki maupun perempuan, baik manusia maupun jin, sedang kalbunya merasa tenteram dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Janji itu ialah bahwa Allah akan memberinya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik daripada amalnya. Kehidupan yang baik mencakup seluruh jenis nikmat yang menggembirakan hati, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda :
(قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا ، وَقَنَعَهُ اللهُ بِمَا آتاَهُ) رواه أحمد
“Sungguh beruntunglah orang yang berserah diri, yang diberi rezeki dengan rasa cukup, dan yang merasa puas dengan apa yang telah diberikan Allah baginya” (HR. Ahmad)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim dari hadits Abdullah bin Yazid al-Muqri.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
إِنَّ اللهَ لاَ يَظْلِمُ المُؤْمِنَ حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا وَيُثَابُ عَلَيْهَا فِي الآخِرَةِ . وَأَمَّا الكاَفِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِهِ فِي الدُّنْيَا حَتىَّ إِذَا أَفْضَى إِلىَ الآخِرَةِ لَمْ تَكُنْ حَسَنَةٌ يُعْطَى بِهَا خَيْرًا . (رواه مسلم)
“Allah tidak menzalimi suatu kebaikan bagi seorang mukmin. Kebaikan itu diberikan kepadanya di dunia dan diberikan pula pahalanya di akhirat. Adapun orang kafir, maka dia diberi makan di dunia karena aneka kebaikannya, sehingga apabila dia tiba di akhirat, maka tiada satu kebaikan pun uang membuahkan pahala.” (HR. Muslim)

C. PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL
1. Kriteria istri yang ideal
Kriteria-kriteria itu adalah :
- Shalihah yang pengertiannya adalah kelakuannya tidak buruk dan tidak merusak (secara agama, moral dan hukum).
- Qanitah yang pengertiannya adalah taat (kepada norma-norma agama, moral dan hukum) yang disertai dengan ketundukan.
- Hafidhah li al-ghaib yang pengertiannya adalah bisa menjaga diri, amanah dan rahasia keluarga.
Berdasarkan kriteria ini, tidak masalah apakah istri bekerja di luar rumah (peran publik) atau tidak (peran domestik). Yang penting seorang istri itu, baik dia itu wanita karir atau bukan, harus bisa memenuhi tiga kriteria itu.
2. Tanggung Jawab Suami Terhadap Istri
3. Sebagai suami tidak boleh menghina istri.
4. Beramal shaleh dengan jalan sejajar al-quran dan sunnah, mendapat ketentraman di dunia dan pahala di akhirat, baik itu laki-laki maupun perempuan.
5. dalam melaksanakan amal shaleh laki-laki dan perempuan sama saja di hadapan Allah swt.


D. REFERENSI
Menteri Agama Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Dahlan, H.A.A, Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, Diponegoro; Bandung 2000
Hamka, Prof. Dr. Tafsir Al-Azhar Juz V, Pustaka Panjimas; Jakarta 1983
Mahfud, Moh. Spiritualitas Al-Qur’an dalam membangun Kearifan Umat, UII Press; Yogyakarta, 1997.
Ar-Rifa’i, Muhammad Naqib. Ringkasan Tafsir Ibn Katsir Jilid 2, Gema Insani Press; Jakarta 1999
Al-Maragi, Ahmad Musthafa. Tafsir Al-Maraghi Juz V; Toha Putra; Semarang 1993.
Shihab, M. Quraish. Tafsi Al-misbah Vol. 7 dan 13, Lentera Hati, Jakarta:2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar